Sejarah Awal Mula Kopi di Aceh
Info2rial - Tanaman kopi awalnya dibawa Belanda pada abad XVII melalui Batavia (sekarang Jakarta) untuk ditanam di Aceh tahun 1908. Kopi yang pertama sekali diperkenalkan adalah kopi jenis Arabica pertama sekali dibudidayakan di Utara Danau Lut Tawar. Di dunia, kopi bisa dibedakan menjadi 2 kelompok berdasarkan jenisnya, yaitu kopi Arabica dan kopi Robusta.
Di Aceh kedua jenis kopi ini dibudidayakan oleh masyarakat setempat. Kopi jenis Arabica umumnya dibudidayakan di wilayah dataran tinggi Tanah Gayo, termasuk Takengon, Aceh Tenggara, dan Gayo Lues.
Sedangkan di Kabupaten Pidie (terutama wilayah Tangse dan Geumpang) dan Aceh Barat, masyarakat mengembangkan kopi jenis Robusta. Belanda memerintahkan masyarakat sendiri pada saat itu mereka menyuruh konsumsi kopi jenis Robusta, sedangkan Arabica untuk dikonsumsi sendiri (Belanda) dan untuk di ekspor.
Baca Juga : Tips Menjaga Kebersihan Mulut Saat Berpuasa
Di Aceh Belanda menemukan sebuah dataran tinggi luas yang dikenal dengan nama Tanah Gayo terletak di jantung wilayah ini, yang berdasarkan riset yang mereka lakukan ternyata sangat cocok untuk ditanami Kopi.
Dan dari sinilah keajaiban itu bermula. Di Tanah Gayo, Belanda membangun basis pemerintahannya di Takengon yang terletak tepat di tepi danau Lut Tawar yang permukaannya ada di ketinggian 1250 Mdpl.
Belakangan kota ini berkembang menjadi pusat ekonomi dan pemerintahan dan menjadi kota terbesar di Tanah Gayo. Perkebunan kopi pertama yang dikembangkan Belanda di daerah yang bernama Belang yang terletak tidak jauh dari Kota ini. Sampai hari ini, daerah ini dikenal sebagai salah satu daerah penghasil kopi terbaik di Tanoh Gayo. Dari Belang Gele, Kopi tersebar ke segala penjuru Tanah Gayo yang berhawa dingin.
Di tahun 1924 Belanda dan investor Eropa telah memulai menjadikan lahan didominasi tanaman kopi, teh dan sayuran (John R Bowen, Sumatran Politics and Poetics, Gayo History 1900-1989, halaman 76). Kemudian, pada Tahun 1933, di Takengon, 13.000 hektar lahan sudah ditanami kopi yang disebut Belanda sebagai komoditas “Product for future”.
Masyarakat gayo, tulis John R Bowen, sangat cepat menerima (mengadopsi) tanaman baru dan menanaminya di lahan-lahan terbatas warga. Perkampungan baru di era tersebut, terutama di sepanjang jalan dibersihkan untuk ditanami kopi kualitas ekspor.
Editor :Tim NP